Sekilas Pemahaman Hermeneutika

  1. Dari hermeneutika ke Metafisika

Dunia filsafat kontemporer yang berciri interpretasi membuat kita berada dalam ruang diskurusus filosofis yang terpecah-pecah. Maka disinilah letak hermeneutika sebagai filsafat menjadi solusi yang digunakan untuk menghadapi fenomena demikian, karena hermeneutika secara tradisional dipahami sebagai teori interpretasi yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari tradisi metafisika. Menurut kant, metafisikan bukan merupakan kebenaran yang rasional, melainkan sebagi sebuah delusi yang  hanya bisa disadari setelah melakukan dekonstruksi ulang terhadap kapasitas kognisi di luar pengalaman yang terbatas. Dalam arti bahwa rasio mengikuti berbagai interpretasi terhadap realitas, karena anggapan bahwa tidak ada yang lebih dapat dipercaya daripada fakta bahwa bebagai interpretasi memang memuaskan rangsangan-rangsangan rasio  (Grondin, 2017: 18).

Pemikiran Kant tentang metafisika merupakan sesuatu yang ada dalam diri dan fenomena yang tampak. Mengacu pada metafisika Aristoteles yang mendefinisikan metafisik sebagai ilmu yang mengkaji tentang ‘yang Ada’ sebagaimana apa adanya mampu mengklaim pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang ada dalam diri. Menurut Kant, sesuatu yang kita ketahui memang sudah ada dalam skema konsep pemahaman kita, pikiran tidak bersifat pasif dalam aktus mengetahui, tetapi juga aktif melekatkan hukum-hukum logika pada alam. Sistem-sistem yang dilekatkan pada alam dan hukum moral mendorong manusia untuk berbuat yang didasarkan pada impretatif kategori rasio, tidak hanya merupakan interpretasi-interpretasi berlainan yang berujung pada debat kusir dalam ranah filsafat praktis dan metafisikan alam itu sendiri (Grondin, 2017: 20). Berdasarkan argument Kant, rasio akan terjerembab ke dalam ilusi metefisis ketika dia mencoba keluar dari ranah pengalaman yang terbatas, maka dari itu rasio menjadi ragu dengan apa yang dihasilkannya.

Apa yang diungkapkan oleh Kant dianggap kontradiksi akut oleh rahib Jacobi, sebab apa yang dimaksud Kant tentang sesuatu-dalam-dirinya-sendiri ingin menyingkirkan segala konsep yang pada hakikatnya tidak dapat diketahui. Kontradiksi membuang pendapat yang memandang sesuatu yang ada dalam dirinya sendirisebagai sesuatu yang berada di luar dirinya dan kemudian mengembangkan sesuatu yang koheren tentang idealisme absolut. Di sisi lain, Jacobi mengikuti indikasi-indikasi yang ditemukan dalam pemikiran Kant yang mengaku harus membatasi pengetahuan untuk memberi jalan keimanan, hingga sampi pada kesimpulan yang lain ‘feidisme’. Jika pemahaman tidak bisa membawa kita pada realitas, satu-satunya hal yang bisa memberi kepentingan tentang sesuatu yang objek dan kokoh adalah keyakinan pada suatu otoritas yang lebih tinggi daripada otoritas rasio kita (Grondin, 2017: 22-23).

Feidisme Jacobi mempengaruhi bapak Hermeneutia kontemporer, yaitu Friederich Schleiermacdher dan ikut dalam menolak klaim-klaim pengetahuan rasional dan menggolongkan sentimen keagamaan sebagai saah satu ketergantungan total, suatu keyakinan terhadap realitas yang melebihi pemahaman kita terhadap yang terpecah-pecah. Schleiermacdher kemudian menggantungkan pemahaman pada hermeneutika dengan membedakan dua cara mengartikna seni interpretasi, yaitu pengertian yang longgar dan pengetian yang ketat. Pengertian yang longgar/santai merupakan pemahaman yang langsung diterima secara alamiah ketika seseorang membaca teks. Berdasarkan pengertian yang ketat, suatu teori pemahaman harus mengikuti maksim (hukum) bahwa kesalahpahaman yang justru muncul secara otomatis atau alamiah dan harus dicari dan didasarkan pada setiap langkah interpretasi (Grondin, 2017: 24-25).

Pandangan yang mendasari hermeneutika Schleiermacdher adalah pandangan yang disebut dengan universalisasi kesalahpahaman, karena dalam komunikasi biasa antar pribadi, kita seolah-olah memahmai ucapan orang lain, namun kita tidak sampai pada pemahaman atas segala sesuatu tentangnya jika tidak pernah mengalami apa yang mereka alami. Artinya, untuk sampai pada pemahaman orang lain, kita harus pernah mengalami suatu hal yang sama dengan mereka. Schleiermacdher menderivisikan pendapat dari premisnya tentang kesalahpahaman bahwa pemahaman manusia niscaya bersifat ‘dialektis’ atau ‘dialogis’ jika ingin menghindari konotasi spekulatif konsep Dialektika hege (Grondin, 2017: 27).

Pemahaman Schleiermacher dalam memahami dialektika sebagai platonik, yaitu seni berdiaog. Jika seluruh perspektif kita tentang dunia terbatas, maka kita hanya mengandalkan pandangan pengalaman, dan keberatan-keberatan orang lain berbeda-beda. Melalui dialog, kita dapat sampai pada pemahaman yang universalitas dengan melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda-beda dan dapat memperkaya pemahaman kita yang terbatas. Dengan demikian, pemahaman yang ditekankan pada aspek dialogis menjadi aspek yang penting. Jejak pemahaman dialogis dapat ditemukan dalam hermeneutika kontemporer pada pemikiran Gadamer yang memahami pengalaman hermeneutik sebagai sesuatu yang dialogis, bahkan juga dalam proyek etika pembhasan/diskusi. Aspek yang kurang kontemporer dalam pemikiran Schleiermacher adalah pendaptnya tentang teknik memahami. Jika kita tidak bisa memastikan pemahaman sendiri, maka akan sangat berguna jika kita bisa bersandar pada Kunstlehre (seni memahmi) yang dapat memastikan validitas interpretasi-interpretasi kita  (Grondin, 2017: 28).

  • Dari Schleiermacher ke Heidegger dan Gadamer

Grondin mengidentifikasi ciri hermeneutika Schleiermacher yang terjebak di antara motif Cartesian dan motif yang lebih romantik atau nyaris eksistensialis. Risiko akibat kesalahpahaman total merupakan motif utama hermeneutika Schleiermacher yang mengarah pada insting-insting Cartesian yang mengarah pada solusi metodis atau sejenis Kunstlehre. Berbeda dengan Schleiermacher, Heidegger justru menganggap solusi ‘metodis’ ini adalah bagian dari zaman hermeneutika.

Metafisika menurut  Heidegger berasal dari suatu dorongan yang lebih mendasar, yaitu tendensi seseorang untuk mengamankan posisinya yang rentan dalam dunia dengan memahami totalitas ‘yang Ada’ berdasarkan kerangka pandangan onto-teologis (Grondin, 2017: 28). Bagi Heidegger, onto-teologis merupakan elemen-elemen umum yang membentuk metafisika yang terwadahi dalam istilah Yunani. Pemikiran metafisika berifat ontologis, karena mengarah pada pemikiran yang universal, komprehensif, dan menyeluruh terhadap “yang Ada”. Selanjutnya, metafisika yang bersifat teologis, sejauh ini melahirkan perspektif universal tentang ‘yang Ada’ dari suatu prinsip umum. ‘Yang Ada’  bisa dipahami dan diperoleh bukan dalam penegertian ketuhanan, melainkan ‘yang Ada’ bersifat materialistik atau suatau yang dapat diindera, maka saat itu dia masih berpikir secara ‘teologis’ atau dengan cara yang fonsalis, artinya secara metafisis. Metafisika bersifat logis karena diperoleh dari pemahaman universal dan berdasarkan prinsip ‘yang Ada’ melalui kacamata logika khusus, yaitu diskursus proporsional dan silogistis, dimana presikat dipahamai sebagai properti atau aksiden; permainan bahasa ‘jika-maka’ sebagai kausalitas ontologis, dll). Dengan mengimbuhkan logikanya sendiri kepada dunia, metafisika diam-diam merasa telah menemukan hakikat sesuatu berdasarkan sudut pandang onto-teo-logis (Grondin, 2017: 31).

Pemahaman dalam Hermeneutika memiliki tingkatan yang berbeda-beda, yaitu: (1) Schleiermacher mengembangkan pemahaman hermeneutika bukan sekedar kajian teologi teks, namun diperluas menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal, yaitu pemahaman teks melalui aturan-aturan sintaksis pengarang, dan pemahaman teks melalui pengungkapan muatan emotional batiniah pengarang, sehingga pemaknann tidak jauh melenceng dari makna yang dikehendaki pengarang; (2) Wilhem Dilthey menjelaskan pemahaman bermula dari pengalaman, dimana pengalaman hidup manusia merupakan neksusu struktural yang mempertahankan neksus masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini. Pemahaman dalam hermeneutika dapat dipahami melalui tiga proses, yaitu memahami sudut pandang atau gagasan pelaku asli, memahami arti arti dari perilaku mereka secara lamgsung yang berhubungan dengan peristiwa sejarah, dan menilai peristiwa-peristiwa berdasarkan gagasan yang berlaku di waktu sejawan itu hidup; (3) Edmund Husserl menjelaskan pemahaman yang benar harus membebaskan diri dari prasngka. Penafsir harus memilik pengetahuan sejati, yaitu kehadiran data dalam setiap budi, bukan rekayasa untuk berteori. Untuk memperoleh pemahaman ini, harus melalui tiga proses, yaitu melakukan reduksi fenomenologis dengan menempatkan dunia dalam tanda kurung, melakukan reduksi eidetik yang dikerjakan dengan memusatkan perhatian dan pengamatan kita pada esensi sesuatu an dicoba untuk dipahami, dan melakukan rekonstruksi dengan menghubungkan hasil reduksi fenomenologis dengan hasil reduksi eidetik; (4) Pemahaman menurut Heidegger sebagai sesuatu yang muncul dan mendahului kognisi, untuk memahai teks kita harus menerapkan pembacaan atau penafsiran ulang, sehingga dapat memahami teks yang sama secara baru dan denga perolehan makna yang baru pula. Pemahaman teks yang dijelaskan Heidegger terletak pada kegiatan mendengarkan melalui bahasa manusia tentang ‘hal’ apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa, dan proses ini merupakan proses penghayatan, karena pada hakikatnya manusia berada dalam suatu gerakan yang disebut bahasa, dan hal inilah yang mendasari filsafat Hermeneutika Heidegger;(5) Pemahaman yang benar menurut Gadamer adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis, yaitu kebenaran dicapai melalui dialektika bahasa. Hal ini meliputi kebenaran sebagai tak tersembunyi, bahasa dan pemahaman, dan hubungan antara kebenaran dan metode.  Penafsiran menurut Gadamer tergantung dari situasi dimana penafsir itu ada melingkupi pengalamannya dalam tradisi masing-masing, dimana kebenaran yang tersingkap nantinya sangat ditentukan oleh proses dialektika tanya-jawab cakrawala-cakrawala tradisi itu; (6) Pendapat Jurgen Habermas tentang pemahaman didahului oleh kepentinan, dimana kepentingan ini melibatkan kepentingan sosial sebagai interpreter. Kita tidak dapat memahami suatu fakta jika tidak dapat memahami sepenuhnya suatu fakta, karena fakta tidak selalau ada untuk dapat diinterpretasi. Artinya, terdapat makna yang tidak dapat dijabarkan di luar pikiran kita; (7) Menurut Paul Ricoeur, memahami makna sutau teks diambil tidak hanya dari pandangan hidup pengarang, melainkan dari pengertian pandangan hidup pembacanya juga. Hermeneutika mencari makna tersembunyi yang objektif dari sutau teks, tanpa melibatkan maksud subjektif pengarang ataupun orang lain. interpretasi akan dianggap berhasil, jika dunia teks dan dunia interpreter terlah larut menjadi satu; (8) Jacques Derrida sebagai tokoh hermeneutika dekonstruksinonis berpendapat bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Hermeneutika yang ditawarkan Derrida menghendaki agar kita  lebih menekankan pada pencarian makna eksistensialis dan makna yang sekarang. Setiap upaya untuk menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan untuk membangun relasi sederhana antara penanda dan petanda, karena bahasa hanya merujuk pada dirinya sendiri, maka makna-makna adalah arbitrer dan tidak bisa dipastikan begitu saja.

Tingkatan dalam Hermeneutika

Oleh: Yusanta, D.A.

  1. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834),

Merupakan tokoh hermeneutika romantisisme, Schleiermacher yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. Schleiermarcher menginginkan adanya makna autentik dari sebuah teks, karena dia beranggapan bahwa tidak ada teks yang dibuat tanpa alasan. Dan memahami teks tersebut hakikatnya sama dengan memahami makna autentik dan tujuan teks tersebut.

Model kerja hermeneutika Schleiermarcher meliputi dua hal:

  1. Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang, sehingga harus menggunakan pendekatan linguistik.
  2. Penangkapan muatan emotional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin pengarang teks. Langkah ini diperlukan untuk memandu langkah pertama agar penafsiran tidak melenceng jauh dari makna yang dikehendaki pengarang.
  • Wilhelm Dilthey (1833 -1911),

Merupakan tokoh hermeneutika metodis. Dithey berpendapat bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini. Oleh karena itu, pemaknaan bersifat fleksibel, tidak ada aturan di dalamnya. Hal itu disebabkan karena makna itu sendiri tak pernah berhenti pada suatu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Bahasa tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah dimana kita atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat penggunanya.

Hermeneutika menurut Dilthey dapat dipahami dengan tiga proses berikut :

  1. Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
  2. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah.
  3. Menilai perisiwa-peristiwa tersebut brdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup.
  • Edmund Husserl (1889 -1938),

Merupakan tokoh hermeneutika fenomenologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek. Makna tidak bisa direduksi menjadi sekadar maksud-maksud subjek. Subjek hanya terbentuk bersama makna.

Husserl mengatakan bahwa penafsiran harus kembali pada data, bukan pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Interpreter harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya. Pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori. Dengan begitu, menurut perspektif ini, proses pemahaman yang benar harus membebaskan diri dari prasangka, yakni dengan membiarkan teks ‘berbicara sendiri’, teks harus merefleksikan mentalnya sendiri, oleh karena itu penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek.

Untuk itu, dalam penafsiran ada tiga langkah yang harus dilakukan, yaitu :

  1. Melakukan reduksi fenomenologis yang dikerjakan dengan menempatkan dunia dalam tanda kurung.
  2. Melakukan reduksi eidetik yang dikerjakan dengan memusatkan perhatian dan pengamatan kita pada esensi sesuatu yang dicoba untuk dipahami
  3. Melakukan rekontruksi dengan menghubungkan hasil reduksi fenomenologis dengan hasil reduksi eidetik.
  • Martin Heidegger (1889 -1976),

Merupakan tokoh hermeneutika dialektis. Heidegger merupakan murid dari Husserl, meskipun begitu Heidegger menentang keras gagasan hermeneutika Husserl mengenai netralitas sang penafsir. Sebab menurut Heidegger, cara kerja penafsiran hanya bisa dilakukan dengan didahului oleh prasangka-prasangka mengenai objek. Prasangka historis atas objek merupakan sumber-sumber pemahaman, karena prasangka merupakan bagian dari eksistensi yang harus dipahami.

Heidegger juga menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Untuk memahami teks, kita tidak mungkin bisa mencapainya dengan melacak makna tertentu yang ditempatkan di sana oleh pengarang. Dengan demikian, harus dikaitkan antara keberadaan kita dengan apa yang bisa ditunjukkan oleh teks. Implikasinya, tidak ada lagi makna yang tunggal dan tetap; sebaliknya, yang ada adalah keragaman makna dan dinamika eksistensial. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang, yang dengan demikian akan memahami lagi teks yang sama secara baru dengan makna baru pula.

Terkait dengan pemahaman teks, Heidegger menyatakan bahwa pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa tersebut. Kegiatan tersebut untuk menghayati kegiatan kebahasaan. Itulah sebabnya dalam pandangan Heidegger bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika atau suatu gerakan. Manusia hakikatnya berada dalam suatu gerakan ke arah bahasa. Inilah yang melandasi pemikiran filsafat hermeneutika Heidegger.

  • Hans-Georg Gadamer (1900 -2002)

Merupakan tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.

Gadamer berpendapat bahwa bahasa merupakan realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, dan pikiran manusia. Gadamer dengan tegas menempatkan bahasa sebagai pusat pemahaman, sebagaimana pernyatan berikut “Pemahaman atau mengerti harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamntal dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ‘mengerti’ itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri.”

Secara kategoris, kerangka hermeneutika Gadamer berkaitan dengan pokok-pokok khusus, yaitu :

  • Kebenaran sebagai yang tak tersembunyi,

Bagi Gadamer kebenaran dipahami sebagai ketersingkapan dan ketaktersembunyian. Penyingkapan kebenaran tersebut harus mengacu pada tradisi, bukan pada metode dan teori.

  • Bahasa dan pemahaman,

Bahasa harus dipahami sebagai yang merujuk pada pertumbuhan mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman historis/ tradisi. Gadamer mendefinisikan bahasa bukan sebagai sesuatu yang tertuju pada manusia melainkan pada situasi.

  • Hubungan antara kebenaran dan metode.

Gadamer berpendapat bahwa pencapaian kebenaran sebagai produksi operasi hermeneutis terhadap suatu teks harus melampaui metode-metode. Metode tidak secara mutlak merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui. Bahasa sebagai endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami sehingga ada yang tak tersembunyi itu dipahami lewat dan dalam bahasa pula. Akhirnya kebenaran itu tercapai melalui Ada-nya sendiri sesuai dengan proses dialektik dan linguistik yang melampaui batas-batas metodologis yang diaplikasikan oleh penafsir teks.

Hermeneutika Gadamer dengan demikian bergerak secara sirkular, masa lalu dan masa kini, dalam suatu pertemuan ontologis sehingga Ada mewahyukan diri sendiri. Itulah mengapa, Hermeneutika Gadamer tidak pernah melegitimasi suatu penafsiran sebagai yang benar dalam dirinya sendiri. Sebab setiap penafsiran tergantung dari situasi dimana penafsiran itu timbul atau pengalaman dan tradisinya masing-masing. Lahirnya suatu pemahaman yang baru atas kebenaran sebagai yang tersingkap itu sangat ditentukan oleh proses dialektika tanya-jawab cakrawala-cakrawala tradisi itu.

  • Jurgen Habermas (1929)

Merupakan tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Hermeneutika Habermas lebih mengedepankan refleksi kritis  penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Hanya dengan cara demikian hermeneutika mampu mengemban tugas untuk mengembangkan masyarakat komunikatif yang universal. Secara metodologis, hermeneutika kritis Habermas dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Dengan menggunakan metode ini, konsekuensinya kita harus curiga dan waspada –atau dengan kata lain kritis- terhadap bentuk tafsir atau pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama.

Habermas mengatakan bahwa kita tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Selain itu, selalu ada makna yang bersifat lebih yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu terdapat dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’, ‘tidak dapat dijabarkan’ bahkan di luar pikiran kita.

Sejalan dengan Gadamer, Habermas juga menempatkan bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.

  • Paul Ricoeur (1913)

Ricoeur berangkat dari perbedaan fundamental antara paradigma interpretasi teks tertulis dan discourse dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. Menurut Ricoeur, teks berbeda dengan percakapan, karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya; niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna objektif diekspresikan dari niat subjektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.

Tugas Hermeneutika tidak mencari makna tersembunyi di balik teks, melainkan mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupun oranglain. Karena itu, menginterpretasikan sebuah teks bukannya mengadakan suatu relasi intersubjektif antara subjektivitas pengarang dan subjektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interprtasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika dunia teks dan dunia interpreter telah berbaur menjadi satu.

  • Jacques Derrida (1930)

Merupakan tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Lewat gagasannya, Derrida ingin menunjukkan bahwa bahasa, demikian juga sistem simbol yang lain, merupakan sesuatu yang stabil. Karena itu, makna tulisan (teks), menurut Derrida makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya. Hermeneutika dekontruksionis menghendaki agar kita lebih menekankan pada pencarian makna eksistensial, makna yang disini dan sekarang. Dekontruksi derrida mengingatkan bahwa setiap upaya untuk menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara penanda dan petanda. Karena bahasa hanya merujuk pada dirinya sendiri, maka makna-makna adalah arbitrer dan tidak bisa dipastikan begitu saja.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hermeneutika sebagai aliran filsafat telah mengikuti pandangan hidup tokoh-tokohnya. Dimulai dari Scleiermacher yang berlatar belakang pendeta Protestan Liberal dengan hermenutika romantisismenya telah mengubah makna hermeneutika dari sekadar kajian teks keagaaman (Bible) menjadi kajian pemikiran filsafat. Wilhelm Dilthey yang ahli metodologi ilmu-ilmu sosial dan sejarah mengubah makna hermeneutika menjadi metode kajian historis. Edmund Husserl juga menggeser hakikat kebenaran dengan menganggap bahwa pengetahuan dunia objektif itu bersifat tidak pasti, karena pengetahuan itu sesungguhnya diperoleh dari aparatus sensor kita yang tak sempurna. Martin Heidegger dengan latar belakang filsafat fenomenologinya membawa hermenutika kepada kajian ontologis. Hans-Georg Gadamer, sebagai filosof yang besar di lingkungan filsafat fenomenologi Jerman, juga menekankan kajian ontologis Heidegger, tetapi dalam konteks tradisi pemikiran filsafat Barat yang menekankan pentingnya dialektika sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran, sehingga hermeneutikanya juga disebut hermeneutika dialogis. Namun, Habermas dengan teori kritisnya menggeser makna hermenutika kepada pemahaman yang diwarnai kepentingan, khususnya kekuasaan. Itu sebabnya ia mengkritik Gadamer yang dianggap kurang menekankan kesadaran sosial yang kritis. Sedangkan paul ricoeur dengan filsafat fenomenologin dan eksistensialisnya mensyaratkan adanya aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama dalam pemahaman hermeneutiknya. Selain itu ia berupaya mencari integrasi dialektis dari dikotomi Dilthey, yaitu penjelasan dan pemahaman. Derrida dengan gagasan dekontruksionisnya menyatakan peran penting sistem lambang atau simbol (bahasa) untuk menyingkap makna yang selalu arbriter.

Tingkatan Hermeneutika

Oleh: Putri, D.A.

Hermeneutika secara tradisional dipahami sebagai teori interpretasi (hermeneuein) (Grondin, 2017:17). Dengan penekanan pada interpretasi berarti sangat anti-fondasionalis dan akan terlihat sebagai anti atau paasca metafisis, tetapi dengan adanya mengakui adanya persfektif universal , jelas penekanan ini menjurus pada suatu klaim universal yang menyerupai metafisika tradisional (baik mereka yang mendukung suatu konsep hermeutika itu mengetahui ataukah tidak).

  1. Immanuel Kant

Sebagian besar pangkal transisi ini bisa diusut kedalam kemunculan sebuah karya penting Kant, Critique Of Pure Reason (1781). Kant sama sekali tidak menyangka bahwa sedtruksinya terhadap metafisika dogmatis akhirnya akan membuka jalan bagi kedatangan abad hermeneutika. Kant berpandangan bahwa usia metafisika yang dua milenium itu tidak menghasilakan pengetahuan yang sesungguhnya, melainkan hanya ilusi, pada dasarnya adalah pandangan yang benar-benar bersifat hermeneutis. Rasio metafisis tidak hanya menghasilkan kebenaran yang kasar, tetapi juga berbagai fiksi, interpretasi, dan bahkan sophistry (rasio debat kusir dengan tujuan menipu). Apa yang dikira metafisika sebagai kebenaran yang rasional tidak lebih dari delusi yang hanya bisa disadari setelah dilakukan dekonstruksi yang sangat teliti terhadap kapasitas kognisi di luar ranah pengalaman yang terbatas.

              Kritisme kant terhadap semua pengetahuan yang mengklaim mampu membicarakan sesuatu dalam dirinya sendiri melahirkan dua keturunan yang nantinya akan berlawanan. Yang pertama membukakan jalan bagi perspektivisme umum, atau bagi beberapa jenis hermeneutika, sedangkan yang kedua menghasilkan suatu ledakan pemikiran metafisika baru dalam bentuk idealisme transendental, Keturunan kedua ini sangat terkenal.

  • Friedrich Schleiermacher (hermeneutika romantis)

              Selain Kant yang mempengaruhi pemikiran bapak hermeneutika kontemporer Friedrich Schleiermacher dalam Discourses on Religion-nya (1799) yaitu Fideisme Jacobi dalam menolak klaim-klaim pengetahuan rasional dan menggolongkan sentimen keagamaan sebagai salah satu ketergantungan total, suatu keyakinan terhadap realitas yang melebihi pemahaman kita yang terpecah-pecah. Tawaran romantik tentang sentimen keagamaan ini adalah imbas tak langsung dari pelecehan Kant terhadap rasio dalam Critique-nya yang pertama.

              Dalam manuskripnya-manuskripnya tentang hermeneutika, Schleiermacher membedakan dua cara mengartikan seni interpretasi : pengertian yang longgar dan pengertian yang ketat. Dalam pengertiannya yang longgar atau “santai”, pemahaman merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah ketka seseorang membaca sebuah teks. Seseorang baru membutuhkan doktrin interpretasi atau hermeneutika untuk menghadapi bagian-bagian yang ambigu, yang tentu saja jumlahnya sangat terbatas, manakala pemahaman tidak bisa muncul dengan semerta-merta.

               Dengan membedakan dua jenis hermeneutika, Schleiermacher jelas-jelas ingin memasang suatu sikap hermeutis yang sebelumnya masih dikerangkeng, yakni pendapat bahwa hermeneutika hanyalah ilmu “bantu” yang diperlukan ketika seseorang tersandung pada bagian teks-teks yang sulit, suatu ilmu yang tidak diperlukan selama pemahaman relatif berjalan baik.

              Sumbangan Schleiermacher yang paling penting dalam hermeneutika adalah konsepnya bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Ada jurang pemisah antara berbicara atau berfikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Menurut Schleiermacher, dalam setiap kalimat yang diucapkan terdapat dua momen pembahasan yaitu apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Bisa saja terjadi apa yang dikatakan oleh seorang penutur bahasa tidak sama dengan apa yang sedang dia pikirkan. Selain itu setiap pembicara mempunyai tempat dan waktu, dan bahasa dimodifikasikan menurut kedua hal tersebut. Menurutnya pemahaman hanya terdapat didalam kedua momen tersebut yang saling berpautan. Karena itu baik pembicara maupun bahasanya harus dipahami sebagaimana seharusnya.

              Implikasinya, teks harus dilihat baik dari aspek luar maupun dalam untuk memperoleh makna utuh. Makna bukan sekadar syarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkap sebuah realitas dengan sangat jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan dengan rapat-rapat, tergantung pada pemakainya.

Pada dataran praktis memahami teks, Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi histors, objektif, da subjektif terhadapa sebuah pernyataan. Schleiermacher mengatakan tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik dari pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik dari pada memahami diri sendiri. Model kerja Schleiermacher ada dua. Pertama memahami teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang. Sehingga harus menggunakan pendekatan linguistik. Kedua penangkapan muatan emosional dab batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir kedalam dunia batin pengarang teks.

  • Wilhelm Dilthey (hermeneutika metodis)

              Dilthey merupakan salah satu penggemar Scheiermacher karena kemampuannya dalam menggabungkan teologi dan kesastraan dengan karya kefilsafatan. Dilthey memiliki metode riset historisnya yang kemudian menjadi sumbangannya sangat berharga dalam perkembangan hermeneutika. Karyanya lebih banyak tercurah pada pemahaman historis.

               sasaran Dilthey adalah memahami orang yang menyejarah.

Individu merupakan produk suatu sistem sosial atau disebut “eksternal”. Sistem eksternal menjadi basis pemahaman historis. Menurut Dilthey hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada suatu masa saja”tetapi selalu berubah mengikuti modifikasi sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam tergantung pada konteks sejauh dimana kata atau pernyataan diucapkan .

  • Martin Heidegger (hermeneutika dialektis)

              Pemikiran Heidegger dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl. Pemikiran filsafat Heidegge rmeliputi dua periode, periode I meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Heidegger satu-satunya orang yang menanyakan tentang “ada”, sebab pada hakikatnya manusia “ada” tetapi tidak begitu sajamelainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri. Periode ke II tentng pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger menjelaskan pengertian “kebre: yang berarti “pembalikan” menurutnya ketidaktersembunyian  “ada” merupakan kejadian asli. Menurutnya berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti.

              Oleh karena itu manusia bukanlah penguasa atas apa yang “ada”, melainkan sebagai penjaga padanya. Manusia tidak bisa memahami subjek tanpa arti yang dididami subjek. Bahasa pada hakikatnya adalah “bahasa hakikat” artinya berfikir adalah suatu jawaban, tanggapan, atau respons dan bukan manipulasi ide. Dalam realitas bahasa lebih menentuikan dari pada fakta atau perbuatan. Dengan kata lain bahasa adalah ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna. Terkait dengan pemahaman teks Heidegger menyatakan bahwa pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia prihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa tersebut. Dalam pandangan Heidegger bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan. Manusia hakikatnya berada dalam suatu gerakan ke arah bahasa. Inilah yang menjadi landasan pemikiran filsafat hermeneutika Heidegger.

  • Hans-Georg Gadamer (hermeneutika dialogis)

              Buku yang dibuat oleh Gadamer dengan judul “kebenaran dan metode” pada tahun 1960 kemudian menjadi rujukan kajian-kajian filsafat hermeneutika kontemporer. Meskipun menjadi rujukan Gadamer menolah hermeneutika sebagai sebuah metode. Yang ditekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis. Bagi Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, sementara metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencabai kebenaran bukan melalui metode, melainkan dialektikadalam proses dialektika kesempatan mengajukan pertanyaan lebih banyak dari pada proses metodis. Pada dasarnya, metode adalah struktur yang dapat membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur tanya jawab, sedangakn proses dialektika tidaklah demikian.

              Konsep Gadamer yang menonjol dalam Hermeneutika adalah ketika ia (meminjam pendapat Heidegger) menekankan apa yang dimaksud “mengerti”. Baginya mengerti merupakan proses melingka untuk mencapai pengertian, seseorang harus bertolakdari pengertiannya misalnya untuk mengerti suatu teks, seseorang harus terlebih dahulu memiliki prapengertiantentang teks tersebut. Gadamer menyebutnta sebagai lingkaran hermeneutika (hermeneun circle) yang artinya, bagian teks bisa dimengerti lewat keseluruhan dan keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian-bagiannya. Menurut Gadamer hermeneutika adalahontologi dan fenomenolog pemahaman.

  • Jurgen Habermas (hermeneutika kritis)

              Hampir seluruh karyanya memiliki konsep tentang “penjelasan” dan “pemahaman”, disinilah keterkaitan gagasan Habermas dengan hermeneutika. Yang menurutnya bertujuan untuk memahami peroses pemahaman. Penjelasan menurut penerapan proposisi-proposisis teoretisterhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu.

              Terkait dengan interpretasi makna Habermes mengatakan tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta. Sebab selalu ada fakta yang tidak bisa diiterpretasikan. Habermes selalu ada makna yang tidak dapat diinterpretasikan, selalu ada makna yang  bersifat lebih. Dalam hal-hal ini bersifat “tidak teranalisiskan”, “tidak dapat dijabarkan” bahkan diluar fikiran kita. Sejalan dengan Gadamer, Habermas juga menempatkan bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika.

  • Paul Ricoeur

              Berdaarkan pemikirannya Ricoeur mengembangkan hermeneutika pada teks. Menurut Ricoeur sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks terdapat tiga macam yakni intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosisal pengadaan teks, dan untuk siapa teks tersebut dimaksudkan. Menurutnya tugas hermeneutika bukan mencari makna tersembunyi dibalik teks melainkan mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupun orang lain. Menginterpretasi sebuah teks bukan hanya sekadar mengadakan relasi intersubjektif antara subjektivitas pengarang dan subjektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi dianggap berhasil apabila mencapai tujuan jika “dunia teks” dan dunia “interpreter” telah berbaur menjadi satu.

  • Jacques Derrida (hermeneutika dekonstruksionis)

              Pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu fenomenologi dan strukturalisme. Derrida menaruh perhatian yang besar pada filsafat bahaa khususunya dalam kaitan hermeneutika. Dalam bahasa Derrida membedakan antara “tanda” dan “simbol” yang kemudian menjadi problem utama dalam filsafat bahasa, dari sini Derrida mengemukakan pemikiran cemerlangnya menenai bahaa tulisan.

              Bahasa menurut kodratnya adalah “tulis”, sebab menjadi asal mula arti adalah gagasan yang didasarkan atas jejak, bukan sebaliknya. Tulisan merupakan barang asing yang masuk kedalam sistem bahasa. Sehingga tulisan merupakan asal dan sebab dari bahasa yang diucapkan. Menurut Derrida tulisan adalah fait accompli sesuatu yang sudah selesai saat orang berbicara.

              Terkait teks Derrida berpendapat bahwa objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda disebut “teks”. Menurut Derrida tidak ada sesuatu diluar teks sebab segala sesuatu yang ada selalu ditandai dengan tekrtualitas. Jika fenomenologi mengenalkan gagasan “intersubjektivitas” maka Derrida mengenalkan istilah “intertekstualitas” dalam menafsikan makna. Tidak ada makna yang melebihi teks dan pemikiran hadir diluar teks, dengan demikian makna senantiasa tertenun dalam teks.

Tinggalkan komentar